Pada pembahasan sebelumnya, telah kita pelajari perbedaan pendapat ulama mengenai hukum penarikan kembali hibah. Mazhab Hanafi berpendapat hibah tidak bersifat mengikat. Pemberi boleh menarik kembali hibahnya selama penerima belum memberikan balasan (‘iwadh). Mereka berdalil dengan hadis (mauquf pada Umar bin Khattab) yang menyatakan,
“Pemberi hibah lebih berhak terhadap hibahnya selama belum diberi balasan.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraqutni [3: 44] dan Al-Baihaqi [no. 12382]. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya At-Talkhiis Al-Khabiir [3: 1053] mengatakan bahwa yang benar, hadis ini mauquf pada Umar bin Khattab)
Adapun mayoritas ulama (jumhur) berpendapat hibah bersifat mengikat, sehingga tidak boleh ditarik kembali, kecuali hibah seorang ayah kepada anaknya. Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ yang berbunyi,
“Orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti orang yang memakan kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 1622)
Bahkan dalam riwayat lain, Nabi ﷺ menyebut perbuatan itu seperti anjing yang kembali memakan muntahannya, menunjukkan betapa tercelanya tindakan tersebut. Dengan demikian, mazhab Hanafi lebih longgar dalam membolehkan penarikan kembali hibah, sedangkan jumhur memandangnya tercela dan dilarang, kecuali dalam keadaan khusus.
Pada artikel kali ini, akan kita bahas mengenai beberapa kondisi atau hal-hal yang menghalangi pengambilan dan penarikan kembali hibah. Dan tentu saja ini adalah pembahasan khusus dalam perspektif mazhab Hanafi.
Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya Al-Fiqhu Al-Islami menceritakan bahwa seorang ulama Hanafi menyusun bait berisi tujuh hal yang menghalangi pengambilan kembali hibah:
“Penghalang pengambilan kembali hibah wahai sahabatku, terangkum dalam huruf-huruf dam‘un khazaqah.”
Dal : tambahan (ziyādah) yang menyatu dengan benda yang diberikan.
Mim : kematian (maut).
‘Ain : balasan atau ganti (‘iwadh).
Kha’ : keluarnya benda hibah dari kepemilikan penerima (khuruuj).
Zay : pernikahan (zaujiyyah).
Qaf : hubungan kekerabatan (qaraābah).
Ha’ : kerusakan (halāak).
Penjelasan detailnya berikut ini:
Dalam mazhab Hanafi, hibah tidak boleh ditarik dan diambil kembali karena tujuh sebab:
Pertama: Adanya tambahan yang menyatu dengan benda yang diberikan, baik itu karena perbuatan orang yang diberi maupun karena orang lain
Adanya tambahan yang menyatu ini menghalangi pemberi untuk mengambil kembali pemberiannya, baik itu terlahir dari benda itu maupun tidak. Misalnya, benda yang diberikan adalah rumah, lalu orang yang diberi membuat bangunan lagi di dalamnya. Atau pemberian itu berupa sebidang tanah, lalu orang yang diberi menanam sejumlah pohon di atasnya, atau mendirikan pompa air dan melekatkannya di tanah serta membuat bangunan di atasnya. Atau pemberian itu berupa pakaian, lalu dia mewarnainya yang membuat harga pakaian itu lebih mahal. Atau pemberian itu berupa sepotong kain lalu dia menjahitnya. Atau berupa binatang, lalu dia menjadi lebih gemuk dan lebih bagus.
Dalam semua kondisi ini, pemberian itu tidak boleh diambil kembali, karena ia telah bercampur dengan benda lain. Yang bisa diambil kembali hanyalah benda yang diberikan itu saja, namun kini ia telah bercampur dengan benda lain yang tidak termasuk dalam pemberian itu. Ketika pemberian itu tidak bisa diambil kembali kecuali beserta tambahannya itu, maka secara hukum asal, ia tidak boleh diambil kembali.
Sedangkan tambahan yang terpisah (buah, susu, atau penghasilan) tidak menghalangi penarikan hibah karena bukan bagian dari barang asal.
Sementara itu, berkurangnya benda yang dihibahkan tidak menghalangi pengambilan kembali hibah tersebut. Karena selama dia mempunyai hak untuk mengambil kembali pemberiannya secara utuh, maka dia iuga boleh mengambilnya kembali secara tidak utuh ketika pemberiannya itu masih utuh, demikian juga ketika pemberiannya itu telah berkurang.
Kedua: Meninggalnya salah satu pihak dalam akad pemberian
Jika orang yang diberi meninggal dunia, maka pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya. Hal ini karena pemberian itu telah berpindah kepemilikannya kepada ahli waris orang yang diberi, sehingga kepemilikannya seperti telah berpindah ketika dia masih hidup. Ini juga berlaku jika yang meninggal dunia adalah pemberi, karena ahli warisnya adalah orang asing bagi pemberian itu dan tidak ada hubungannya dengan pemberian.
Ketiga: Adanya imbalan materi
Jika orang yang diberi hibah menawarkan imbalan atau ganti kepada pemberi atas pemberiannya dan pemberi menerimanya, maka pemberi tidak boleh mengambil kembali hibah itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,
“Pemberi lebih berhak terhadap pemberiannya selama belum diberi balasan.”
Maksudnya, selama belum diberi imbalan atas pemberiannya itu, ia berhak menarik kembali. Jika sudah diberi imbalan, maka tidak boleh. Inilah yang disebut dengan hibah Ats-Tsawāb (hibah dengan imbalan).
Di samping itu, penerimaan pemberi terhadap imbalan dari orang yang diberi merupakan bukti bahwa tujuannya adalah mendapatkan imbalan tersebut. Sehingga jika dia telah menerima imbalannya, maka dia tidak boleh menarik kembali pemberiannya. Akan tetapi, dalam hal ini disyaratkan bahwa pemberi imbalan mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa pemberiannya itu adalah sebagai imbalan. Jika dia diam ketika memberikan imbalannya dan tidak mengatakan apa pun, maka pemberi pertama boleh menarik kembali apa yang telah dia berikan.
Imbalan ini terbagi dua: yang disyaratkan dalam akad dan yang tidak disyaratkan dalam akad.
Imbalan yang disyaratkan dalam akad
Jika pemberi berkata, “Saya berikan pena ini kepadamu dengan syarat engkau memberikan baju itu kepadaku sebagai imbalan,” maka empat imam mazhab sepakat akad ini sah, tapi berbeda dalam mengkategorikan:
Mazhab Hanafi (selain Zufar): awalnya hibah, akhirnya jual beli. Jika belum diterima, berlaku hukum hibah. Jika sudah diterima, berubah menjadi jual beli.
Zufar: sejak awal dan akhir dianggap jual beli. Berlaku hukum jual beli penuh tanpa syarat penerimaan.
Mazhab Maliki: mayoritasnya dianggap jual beli, meski ada kondisi khusus berbeda.
Mazhab Syafi‘i dan Hambali: akad ini masuk kategori jual beli, berlaku hukum-hukum jual beli seperti syuf‘ah, khiyār, dan jaminan ganti.
Imbalan yang tidak disyaratkan dalam akad
Jika imbalan itu tidak dikaitkan dengan hibah, maka ia menjadi hibah baru yang bisa ditarik kembali. Namun jika dikaitkan (misalnya penerima berkata, “Ini imbalan hibahmu”), maka ia dianggap sebagai hibah tersendiri yang menggugurkan hak pemberi untuk menarik kembali hibahnya.
Keempat: Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberi
Hal ini berlaku dengan sebab apa pun, seperti karena dijual, diberikan kepada orang lain atau sejenisnya. Semua tindakan ini mengakibatkan perbedaan status kepemilikan benda, dan perbedaan dua kepemilikan dalam sebuah benda itu sama seperti perbedaan dua benda. Oleh karena itu, seandainya seseorang memberikan sebuah benda, maka dia tidak boleh mengambil benda yang berbeda dari orang yang diberi. Demikian juga jika dia memberikan suatu benda kepada orang lain, maka dia tidak boleh membatalkan kepemilikan orang itu dari benda yang lainnya.
Kelima dan keenam: Adanya imbalan yang bersifat maknawi
Ada tiga bentuk imbalan maknawi:
[1] Pahala dari Allah. Hibah kepada fakir miskin bernilai sedekah, sehingga tidak boleh ditarik kembali.
[2] Hubungan kekerabatan. Hibah kepada dzawil arham yang mahram tidak boleh ditarik kembali. Karena imbalan berupa terjalinnya hubungan kekerabatan dan silaturahmi ini lebih kuat daripada imbalan materi.
[3] Hubungan suami-istri. Suami tidak boleh menarik hibah kepada istri, begitu pula sebaliknya. Karena, hubungan suami istri menempati sepenuhnya hubungan kekerabatan. Dan imbalan terjalinnya kasih sayang di antara keduanya tentu lebih kuat dari hubungan kekerabatan. Sehingga tidak boleh menarik kembali hibah di antara keduanya.
Ketujuh: Rusak, hilang, atau dikonsumsinya barang yang diberikan
Hal ini karena pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya yang sudah rusak atau hilang. Dia juga tidak bisa mengambilnya kembali dalam bentuk nilai. Karena nilai tersebut bukanlah yang diberikan disebabkan tidak adanya akad terhadapnya. Di samping itu, penerimaan terhadap hibah tidaklah dijamin dengan ganti.
Hukum pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihak
Tidak ada perbedaan antar ulama bahwa pengambilan kembali terhadap hibah oleh pemiliknya berdasarkan keputusan qadhi merupakan pembatalan pemberian tersebut. Namun para ulama berbeda pendapat tentang pengambilan kembali hibah berdasarkan keridaan kedua belah pihak.
Dalam hal ini, jumhur ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa itu adalah pembatalan juga, sebagaimana pengambilan kembali berdasarkan keputusan qadhi. Sehingga, hal itu dibolehkan pada sesuatu yang musyaa, dan untuk keabsahannya tidak disyaratkan adanya penerimaan atau pengambilan barang.
Sedangkan Zufar berkata, “Sesungguhnya itu adalah hibah baru, karena kepemilikan terhadap benda itu kembali kepada pemilik pertama berdasarkan keridaan masing-masing pihak, sehingga itu serupa dengan pengembalian barang karena adanya cacat dalam jual beli. Maka ia terhitung sebagai akad baru bagi orang ketiga selain kedua belah pihak pelaku akad.”
Jumhur ulama mazhab Hanafi berdalil bahwa dengan pembatalan, maka pemberi mengambil kembali haknya. Dan pengambilan hak tidak tergantung kepada keputusan qadhi.
Hal ini berbeda dengan pengembalian barang karena adanya cacat tanpa adanya keputusan qadhi, maka ia dianggap sebagai jual beli baru bagi orang yang ketiga selain kedua belah pihak tadi. Karena, pembeli tidak mempunyai hak untuk membatalkan transaksi jual beli, namun haknya adalah menerima barang dalam keadaan baik tanpa mengandung cacat. Apabila barang itu cacat, maka keridaannya pun menjadi rusak.
Kesimpulan
Dari artikel ini dan artikel sebelumnya, dapat kita simpulkan beberapa poin penting terkait hukum menarik kembali hibah:
1) Menurut mazhab Hanafi, penarikan kembali hibah diperbolehkan. Akan tetapi, terdapat tujuh kondisi yang menjadi penghalang, di antaranya ketika hibah sudah bercampur dengan tambahan, berpindah kepemilikan, rusak, atau sudah diberi imbalan, baik materi maupun maknawi.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara hukum, Hanafi lebih longgar dibanding jumhur ulama, tetap ada batasan ketat agar hibah tidak semena-mena ditarik kembali dan tidak menimbulkan kerugian bagi penerima.
2) Dalil jumhur lebih kuat, karena berdasar hadis sahih riwayat Bukhari-Muslim yang sangat jelas dan mengandung celaan keras. Dalil mazhab Hanafi berupa atsar Umar bin Khattab lebih lemah jika dibandingkan dengan hadis marfu‘ yang sahih.
Karena itu, pendapat yang lebih rajih adalah hibah bersifat mengikat dan tidak boleh ditarik kembali, kecuali dalam kasus orang tua kepada anak, dengan syarat-syarat yang diatur oleh ulama.
3) Menarik kembali hibah tanpa alasan syar‘i adalah perbuatan tercela, diqiyaskan dengan sesuatu yang menjijikkan, menunjukkan bahwa ia haram dan berdosa.
4) Seorang muslim yang hendak memberi hibah hendaknya memikirkan dengan matang sebelum memberi, agar tidak menyesal dan ingin menariknya kembali.
Wallahu a’lam bissowab.
[Bersambung]
Kembali ke bagian 5
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Al-Fiqhu Al-Islami, karya Syekh Wahbah Az-Zuhaily dengan beberapa penambahan dan penyesuaian.
News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.